Selasa, 06 November 2012

Rekayasa akustik: Barrier

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak diperlukan dan sifatnya mengganggu. Definisi ini menghasilkan dua aspek bising yaitu aspek fisik yang ditunjukkan dengan bunyi, dan juga aspek subjektif seperti asal bunyi dan keadaan pikiran dan temperamen penerima.
Bising yang cukup keras, di atas sekitar 70 dB, dapat menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Bising yang sangat keras, di atas 85 dB, dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung lama kehilangan pendengaran sementara atau permanen dapat terjadi. Bising yang berlebihan dan berkepanjangan terlihat dalam masalah-masalah kelainan seperti penyakit jantung, dan tekanan darah tinggi.
1. Pengendalian bising yang dihasilkan pada sumber.
Pengendalian kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan dengan memodifikasi mesin atau menempatkan peredam pada sumber getaran.
2. Pengendalian bising yang ditransmisikan
Pengendalian bising yang ditransmisikan melalui udara atau material lain minimal dapat dilakukan dengan dua cara yaitu insulasi dan absorbsi. Insulasi digunakan untuk menempatkan penghalang (barrier) antara bunyi dan suatu area atau orang yang dilindungi dari bising. Absorbsi digunakan untuk melindungi orang atau objek yang ditempatkan pada tempat yang sama dengan sumber bunyi.
3. Pengendalian bising pada penerima
Ketika pengontrolan bunyi di lingkungan gagal dilakukan, dapat diusahakan perlindungan terhadap manusia dengan pemakaian tutup telinga (earmuff), sumbat telinga (earplug), dan perlengkapan pelindung sejenis.

Pagar (barrier) adalah elemen luar bangunan yang sering dijumpai di Indonesia. Pagar dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai peredam rambatan gelombang bunyi. Beberapa pertimbangan agar pagar juga dapat berperan sebagai peredam secara maksimal diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor Posisi
Meski bunyi yang merambat dari sebuah sumber bunyi tersebar secara merata ke segala arah, namun bunyi yang diterima bangunan umulnya diperoleh dari perambatan bunyi secara mendatar atau pada sudut kemiringan tajam. Perambatan gelombang bunyi secara horizontal atau dalam sudut tajam dapat ditahan dengan elemen bangunan berposisi tegak (vertikal). Oleh karena itu elemen bangunan yang berupa elemen vertikal akan lebih berhasil mengatasi perambatan ini dibanding elemen horizontal, seperti yang terlihat pada gambar.



2. Faktor Perletakan
Elemen vertikal bangunan berupa pagar yang digunakan untuk menahan perambatan gelombang bunyi idealnya diletakkan sedemikian rupa agar menghasilkan peredaman terbaik. Secara garis besar terdapat tiga kemungkinan perletakan elemen vertikal, dengan asumsi bahwa letak sumber bunyi terpusat di tengah badan jalan. Ketiga perletakan tersebut dapat dilihat pada gambar.



a. Cenderung lebih mendekati sumber bunyi
Pada keadaan ini, elemen penghalang bangunan (seperti pagar) diletakkan dengan jarak tertentu dan berdiri sendiri (terpisah dari bangunan). Contohnya adalah pagar. Pada bangunan dengan luas lahan yang mencukupi, sangat dimungkinkan pagar diletakkan cukup jauh dari dinding muka bangunan. Dengan perletakan semacam ini maka gelombang
bunyi yang menyentuh ujung atas pagar, sebagian akan dibelokkan ke atas dan sebagian ke arah bawah. Oleh karena dinding muka bangunan berada pada jarak yang cukup jauh, maka pembelokan perambatan gelombang bunyi itu dimungkinkan untuk tidak langsung menuju ke bangunan, meskipun sebagian dari gelombang bunyi ini juga dimungkinkan untuk tetap merambat menuju dinding muka bangunan (Gambar bagian atas (a)).
b. Cenderung lebih mendekati bangunan
Pada keadaan ini elemen vertical diletakkan pada jarak cukup dekat dengan dinding muka bangunan. Hal ini terjadi pada bangunan dengan luas lahan kurang, hanya menyisakan lahan terbuka bagian depan yang jaraknya lebih pendek dari lebar setengah badan jalan. Gelombang bunyi yang mengenai permukaan pagar sebagian membelok ke atas dan sebagian besar sisanya langsung menuju dinding muka bangunan sehingga apabila pada
dinding muka bangunan dipasang jendela atau lubang ventilasi lainnya maka gelombang bunyi akan langsung masuk ke dalam bangunan. Keadaan ini kurang menguntungkan dibandingkan bila pagar cenderung lebih dekat ke sumber bunyi, karena lebih banyak bagian dari gelombang bunyi yang terbelokkan menuju bangunan. Hal ini dapat diperbaiki
dengan membuat pagar yang lebih tinggi, melebihi tinggi atap bangunan, agar pembelokan gelombang bunyi tidak menuju dinding muka bangunan (Gambar bagian bawah (c)).
c. Apabila perletakan (a) tidak dapat dicapai karena keterbatasan lahan, perletakan (c) dengan ketinggian pagar jauh melebihi bangunan lebih disarankan. Perletakan pagar yang lebih dekat dengan bangunan (c) lebih baik dibandingkan perletakan pagar di tengah-tengah antara garis tengah jalan dinding muka bangunan (posisi b). Pada keadaan ini pembelokan gelombang bunyi sebagian besar justru langsung menuju dinding muka bangunan, sekalipun pagar ditinggikan (Gambar bagian tengah (b)).
3. Faktor Berat dan Kerapatan Material
Menurut teori perambatan gelombang bunyi, material alam atau material bangunan yang memiliki berat tertentu lebih baik dalam meredam bunyi. Berat yang dimiliki tiap material mendukung material tersebut untuk bertahan pada posisinya untuk tidak mudah mengalami resonansi sehingga tidak meneruskan perambatan gelombang bunyi ke balik pembatas. Semakin berat dan tebal material atau lapisan material yang digunakan, semakin baik kemampuan redamnya, tidak saja karena menekan terjadinya resonansi, namun juga karena lebih mampu menyerap gelombang bunyi yang masuk melalui pori-porinya, dibandingkan material yang tipis dan ringan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar