Kebisingan merupakan
bunyi-bunyian yang tidak diperlukan dan sifatnya mengganggu. Definisi
ini menghasilkan dua aspek bising yaitu aspek fisik yang ditunjukkan
dengan bunyi, dan juga aspek subjektif seperti asal bunyi dan keadaan
pikiran dan temperamen penerima.
Bising yang cukup
keras, di atas sekitar 70 dB, dapat menyebabkan kegelisahan
(nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung
dan masalah peredaran darah. Bising yang sangat keras, di atas 85 dB,
dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan
seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung lama kehilangan
pendengaran sementara atau permanen dapat terjadi. Bising yang
berlebihan dan berkepanjangan terlihat dalam masalah-masalah kelainan
seperti penyakit jantung, dan tekanan darah tinggi.
1.
Pengendalian bising yang dihasilkan pada sumber.
Pengendalian
kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan dengan memodifikasi mesin
atau menempatkan peredam pada sumber getaran.
2.
Pengendalian bising yang ditransmisikan
Pengendalian bising
yang ditransmisikan melalui udara atau material lain minimal dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu insulasi dan absorbsi. Insulasi
digunakan untuk menempatkan penghalang (barrier)
antara bunyi dan suatu area atau orang yang dilindungi dari bising.
Absorbsi digunakan untuk melindungi orang atau objek yang ditempatkan
pada tempat yang sama dengan sumber bunyi.
3.
Pengendalian bising pada penerima
Ketika pengontrolan
bunyi di lingkungan gagal dilakukan, dapat diusahakan perlindungan
terhadap manusia dengan pemakaian tutup telinga (earmuff),
sumbat telinga (earplug),
dan perlengkapan pelindung sejenis.
Pagar (barrier)
adalah elemen luar bangunan yang sering dijumpai di Indonesia. Pagar
dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai peredam rambatan gelombang
bunyi. Beberapa pertimbangan agar pagar juga dapat berperan sebagai
peredam secara maksimal diuraikan sebagai berikut:
1.
Faktor Posisi
Meski bunyi yang
merambat dari sebuah sumber bunyi tersebar secara merata ke segala
arah, namun bunyi yang diterima bangunan umulnya diperoleh dari
perambatan bunyi secara mendatar atau pada sudut kemiringan tajam.
Perambatan gelombang bunyi secara horizontal atau dalam sudut tajam
dapat ditahan dengan elemen bangunan berposisi tegak (vertikal). Oleh
karena itu elemen bangunan yang berupa elemen vertikal akan lebih
berhasil mengatasi perambatan ini dibanding elemen horizontal,
seperti yang terlihat pada gambar.
2.
Faktor Perletakan
Elemen vertikal
bangunan berupa pagar yang digunakan untuk menahan perambatan
gelombang bunyi idealnya diletakkan sedemikian rupa agar menghasilkan
peredaman terbaik. Secara garis besar terdapat tiga kemungkinan
perletakan elemen vertikal, dengan asumsi bahwa letak sumber bunyi
terpusat di tengah badan jalan. Ketiga perletakan tersebut dapat
dilihat pada gambar.
a. Cenderung lebih
mendekati sumber bunyi
Pada keadaan ini,
elemen penghalang bangunan (seperti pagar) diletakkan dengan jarak
tertentu dan berdiri sendiri (terpisah dari bangunan). Contohnya
adalah pagar. Pada bangunan dengan luas lahan yang mencukupi, sangat
dimungkinkan pagar diletakkan cukup jauh dari dinding muka bangunan.
Dengan perletakan semacam ini maka gelombang
bunyi yang menyentuh
ujung atas pagar, sebagian akan dibelokkan ke atas dan sebagian ke
arah bawah. Oleh karena dinding muka bangunan berada pada jarak yang
cukup jauh, maka pembelokan perambatan gelombang bunyi itu
dimungkinkan untuk tidak langsung menuju ke bangunan, meskipun
sebagian dari gelombang bunyi ini juga dimungkinkan untuk tetap
merambat menuju dinding muka bangunan (Gambar bagian atas (a)).
b. Cenderung lebih
mendekati bangunan
Pada keadaan ini
elemen vertical diletakkan pada jarak cukup dekat dengan dinding muka
bangunan. Hal ini terjadi pada bangunan dengan luas lahan kurang,
hanya menyisakan lahan terbuka bagian depan yang jaraknya lebih
pendek dari lebar setengah badan jalan. Gelombang bunyi yang mengenai
permukaan pagar sebagian membelok ke atas dan sebagian besar sisanya
langsung menuju dinding muka bangunan sehingga apabila pada
dinding muka
bangunan dipasang jendela atau lubang ventilasi lainnya maka
gelombang bunyi akan langsung masuk ke dalam bangunan. Keadaan ini
kurang menguntungkan dibandingkan bila pagar cenderung lebih dekat ke
sumber bunyi, karena lebih banyak bagian dari gelombang bunyi yang
terbelokkan menuju bangunan. Hal ini dapat diperbaiki
dengan membuat pagar
yang lebih tinggi, melebihi tinggi atap bangunan, agar pembelokan
gelombang bunyi tidak menuju dinding muka bangunan (Gambar bagian
bawah (c)).
c. Apabila
perletakan (a) tidak dapat dicapai karena keterbatasan lahan,
perletakan (c) dengan ketinggian pagar jauh melebihi bangunan lebih
disarankan. Perletakan pagar yang lebih dekat dengan bangunan (c)
lebih baik dibandingkan perletakan pagar di tengah-tengah antara
garis tengah jalan dinding muka bangunan (posisi b). Pada keadaan ini
pembelokan gelombang bunyi sebagian besar justru langsung menuju
dinding muka bangunan, sekalipun pagar ditinggikan (Gambar bagian
tengah (b)).
3.
Faktor Berat dan Kerapatan Material
Menurut teori
perambatan gelombang bunyi, material alam atau material bangunan yang
memiliki berat tertentu lebih baik dalam meredam bunyi. Berat yang
dimiliki tiap material mendukung material tersebut untuk bertahan
pada posisinya untuk tidak mudah mengalami resonansi sehingga tidak
meneruskan perambatan gelombang bunyi ke balik pembatas. Semakin
berat dan tebal material atau lapisan material yang digunakan,
semakin baik kemampuan redamnya, tidak saja karena menekan terjadinya
resonansi, namun juga karena lebih mampu menyerap gelombang bunyi
yang masuk melalui pori-porinya, dibandingkan material yang tipis dan
ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar